Thursday, January 22, 2009

Untung Basuki : Refleksi Ketulusan dan Daya Hidup

Usai lebaran lalu atas inisiatif dan anggaran sendiri tigabelas mahasiswa Broadcast Journalism salah satu universitas di Jakarta berkunjung ke Yogya untuk belajar program dokumenter. Tugas yang mereka hadapi di antaranya adalah melakukan observasi mengenai seniman Untung Basuki. Tapi tidak seorangpun tahu siapa Untung. Jangankan Untung, saat berkesempatan mengintip latihan Djaduk Ferianto mereka mengatakan, “Kayaknya pernah lihat orang itu di tv.”

Para mahasiswa itu berkenalan dengan Untung Basuki tapi tidak serta-merta paham mengapa orang ini “penting untuk didokumentasikan”. Mereka seolah menghadapi kepingan-kepingan puzzle saat menemui Untung di rumahnya yang sederhana tidak jauh dari kandang gajah milik Kraton, kendaraannya vespa lawas, caranya berinteraksi tak ada sangar-sangarnya untuk ukuran seseorang yang ditokohkan, tapi gitar kesayangannya merupakan hadiah dari Iwan Fals. Dari Untung mereka mengenal nama Kirdjomulyo, Rendra, Adi Kurdi, Linus Suryadi AG, Iman Budi Santosa, sampai Japhens Wisnudjati. Untung seringkali menyanyikan lagu-lagu yang digubahnya berdasar puisi karya orang-orang yang disebutkannya tadi. Jika Untung musisi penting mengapa petikan gitar dan syair yang dibawakannya sesekali meleset. Tapi jika ia seniman gagal kenyataannya Djadug, Landung Simatupang, Whani Darmawan, Royke B. Koapaha, dan violis Andi Amrullah dengan senang hati meluangkan waktu untuk diinterview mengenai Untung.

Ketigabelas mahasiswa beruntung datang saat Untung serta Sabu kelompok musiknya ada agenda pementasan. Tentu saja momen ini akan menjadi pencerahan bagi kegelisahan mereka dalam memahami Pak Untung, menjadi jawaban pamungkas atas pencarian mereka selama beberapa hari ini. Namun mereka seolah kembali terlempar ke labirin yang gelap begitu tahu pementasan itu ternyata diselenggarakan di panggung seadanya di sudut kampung di mana bloking para musisi dan penyanyi harus disesuaikan dengan keberadaan seperangkat gamelan serta pilar yang yang mustahil digeser.

Bersama Sabu Untung tampil terakhir setelah serangkaian pidato, sendratari dan fashion show anak-anak. Dan pada saat Sabu muncul di panggung puluhan penonton terlanjur beringsut meninggalkan arena pementasan. Gerimispun turun, kotak-kotak snack mulai dipunguti, dan panitia hilir-mudik menumpuk kursi-kursi – itu semua terjadi persis di depan panggung saat Untung dan Sabu tampil!

Tapi Untung dan rekan-rekannya tidak kehilangan setitikpun energinya. Penonton yang tersisa mengiringi lagu-lagu puisi yang dibawakan Sabu dengan tepuk tangan sepanjang lagu. Para mahasiswa bergerak lebih dekat ke panggung, berusaha merekam dan memotret penampilan bersahaja tapi berdaya itu dengan handycam maupun fasilitas media di telepon genggam. Mata mereka berbinar dan tubuh bergerak rancak mengikuti alunan dan daya yang terpancar. “Gila! Ini gila!” seru seorang mahasiswa yang aktif dalam kegiatan band kampus. “Belum pernah gue lihat yang kayak begini!”

Rangkaian peristiwa di atas merupakan satu fragmen yang terekam dalam proses pembuatan film dokumenter Untung Basuki : The Music of Lost Things. “Apa yang terjadi pada para mahasiswa Jakarta itu boleh jadi representasi apa yang kita akan alami dari seorang Untung Basuki,” ujar Titut Sulistyaningrum, produser OrcaFilms. “Bukan hanya puisi yang hilang dalam hidup kita saat ini, tapi juga hal-hal prinsipil, termasuk jatidiri. Tapi ketulusan dan energi yang dimiliki Pak Untung mudah-mudahan memberikan aksentuasi pada batin kita.”

*) Diolah dari artikel di Harian Kedaulatan Rakyat (KR) 22 Januari 2009.